Baduy dan sampah

Pemandangan Cibeo pagi itu bikin gw merasa ada sesuatu yg mengganjal di tenggorokan. Ditelan susah, dikeluarin juga gak mungkin.

Kekek yang sejak melek mata minta ditemani duduk di teras sibuk ngomentarin keluarga ayam di kolong rumah. Maklum anak komplek, liat ayam jago berkokok segitu kencengnya aja takjub.

Kalau anak komplek takjub liat ayam, anak Baduy takjub liat gw :D. Saerah, si 1thn dan Yati si 6thn, berdiri di depan pintu rumahnya yang sempit cuma untuk ngeliatin gw dan kekek yg lagi ngeliatin ayam. Lucunya jangan ditanya, buat gw yg seneng anak2, Saerah & Yati keliatan kaya boneka dalam baju khas Baduy Dalam. Mukanya yang cemang cemong antara ingus dan debu malah bikin tambah gemesin. Tapi ngeliat apa yang Yati gengam di tangannya, ganjalan di tenggorokan gw semakin besar.

Yati, seperti banyak sekali anak-anak Baduy Dalam di kampung Cibeo, mengawali pagi dengan jajan. Iya, jajan. Jajanannya bukan kue bugis berbungkus daun pisang, atau kue apem hangat, tapi makanan kemasan dengan merk yang gw sih belum pernah denger walaupun setiap bulan pasti menghabiskan waktu lama di lorong snack supermarket. Ragam makanannya tak jauh dari permen dan coklat, sebagian besar berwarna-warni mencolok.

“Neng, ntong emam iye…nanti sakit gigi” Yati cuma senyum malu, kemungkinan besar gak ngerti bahasa Sunda gw yg emang cuma level monkey, apalagi bahasa Sunda ala Baduy mah beda banget dengan Sunda kota asal mak bapak gw.

Waktu pertama ke Baduy Dalam dulu, gw ke kampung Cikeusik. Waktu itu weekend, tapi cuma gw sekeluarga yang bermalam di Cikeusik. Kampungnya masih sepi, gak banyak orang memilih kampung itu untuk bermalam di Baduy Dalam. Tapi…di dekat sungai, dan si sepanjang jalan menuju kampung, gw nemu bungkus-bungkus plastik bekas makanan kemasan. Gak banyak sih, tapi di tengah keasrian alam Baduy, jadi tampak mencolok. Juli, warga Baduy Dalam bilang, itu bekas jajanan anak-anak Baduy, mereka masih buang sampah sembarangan.

Bahwa anak Baduy buang sampah sembarangan, gw gak gitu heran. Habit mereka sepanjang sejarah kan memang dekat dengan alam. Gw rasa, jaman dulu buang bungkus makanan artinya buang daun pisang atau buang daun aren. Lagipula, sepanjang mata gw liat, kampung Baduy, Luar maupun Dalam, gak ada yang gak bersih dan rapih. Artinya kalaupun anak-anak mereka begitu, mereka kemudian mampu mendidiknya sehingga habitnya gak berlanjut sampai dewasa.

Bahwa anak Baduy makan makanan kemasan, ITU yg sangat gw sayangkan. How come?

img_4476

Salah satu kampung Baduy Luar, kampung2 Baduy Dalam pun kurang lebih terlihat seperti ini. Bersih dan rapih.

Malam sebelumnya di Cibeo, kita ngobrol asyik dengan kang Ralim, Juli, dan tiga orang Baduy lainnya yang gw gak apal namanya. Hal pertama yg gw tanya tentulah warung-warung yg berjualan makanan & minuman kemasan, yg secara mengejutkan jumlah dan ukurannya kehitung gak seimbang dengan kampung Cibeo yang tak berapa besar ini. Gimana ceritanya bisa ada warung?

img_4561

Salah satu penjual minuman kemasan yang ngelapak di saung di ladang milik orang Baduy Luar. Warung2 di Baduy Dalam lebih komplit lagi, semacam warung jajanan yg biasa kita liat di dekat rumah. 

Kang Ralim, tentu dengan sungkan, karena orang Baduy sepertinya memang tidak terbiasa bicara buruk tentang siapapun, bercerita, mereka adalah orang luar Baduy (bukan Baduy Luar) yang awalnya hanya datang saat sabtu minggu di mana banyak pengunjung menginap di Cibeo. Tapi lama kelamaan mereka seperti pengontrak rumah yang tak kunjung pergi. Gw & rio dengan urat leher agak membengkak nanya “kenapa gak diusir??” Kang Ralim, tetap dengan sungkan cuma bisa bilang “gimana ya? mereka mestinya sudah tau sih, di sini memang cuma boleh bertamu semalam saja, tapi ya gimana mereka gak pergi2” I was like……lemes.

Semacam masih kurang bikin otot leher membengkak, kang Ralim juga berkisah gimana beberapa anak-anak sini diduga sakit karena makan makanan kadaluarsa. Itu karena anak-anak Baduy Dalam memang tidak belajar baca tulis. Pastinya Kang Ralim gak menyebut kata kadaluarsa, dia susah payah menjelaskan ‘tulisan tanggal’ untuk menggambarkan makanan yang mestinya udah basi. And I was like…..pengen nangis.

Selain secara adat, kang Ralim juga pernah diberitahu bahwa secara hukum, berjualan di desa yang telah ditetapkan sebagai desa adat oleh pemerintah, adalah pelanggaran. Sayangnya sangat kecil kemungkinan warga Baduy mau melaporkannya. Dari yang gw liat selama ini, pada sukunya sendiri maupun pada orang luar, mereka tidak senang menegur, memarahi, apalagi menghukum. Dalam perjalanan pulang, Juli, mengomentari gw yg sibuk nyerocos tentang perselisihan orang kota untuk memperebutkan sesuatu, dia bilang “sebenernya, apa-apa itu tidak usah dimarahin, kan sudah besar, sudah tahu. Kalau dia pilih begitu ya sudah terserah saja” duh Juliiiii…..kok ya bisa ada yang memanfaatkan kebaikan dan kelapangan hati kalian sih 😥

Narasumber gw memang cuma mereka, bisa saja mereka salah memahami keadaan yang sebenarnya (walau gw ragu), bisa saja yang mereka sampaikan ke gw adalah subyektifitas yang udah bias oleh kepentingan apalah tau (let’s assume they have such thing as ‘kepentingan’). Yg pasti, buat gw yang jelas nampak di depan mata adalah warung-warung makanan kemasan, sampah yang tercecer, walau tak banyak, dan masalah-masalah yang diakibatkannya. Apa aja? Banyak! Dan pasti berbuntut panjang! #uratleherbengkaklagi

First thing, what else? sampah!

“Iya bingung, dibakar bikin batuk, kalau didiamkan jadi tumpukan, nanti banyak nyamuk” jawaban Kang Ralim tentang sampah plastik. Gw….bengkak urat, lemes, sambil mewek sekalian. Tau lah yah dong…di kota dengan berbagai alternatif pengolahan sampah aja, sampah plastik ini jadi isu besar, gimana dong di tengah hutan kayak di Baduy Dalam? Gimana cobaaaaa???? #emosik

Wait, sambil emosi sambil merasa bersalah jg gw, karena masih mengikuti ‘tradisi’ bawa mie instan kemasan untuk diberikan ke tuan rumah. Next time, coret! Malam itu gw bawa kue2 homemade (gara-gara Isya ikut kampanye no jajan jadi emang gak bekel makanan kemasan) yang ternyata disukain banget sama orang-orang Baduy. Tuh bisa jadi alternatif. Bisa juga bawain lauk kering semacam teri kacang, kering tempe, atau ngungkep ayam deh dari rumah, begitu sampe langsung goreng/panggang, pasti tetep bikin bahagia tuan rumah.

Balik soal sampah, gw dengan sok taunya ngejelasin bahwa sampah plastik itu will be a forever monster, a highlander, a vampire, imortal!! #deramah. Gw watir temen2 Baduy Dalam gw ini gak tau bahayanya sampah plastik. Dikubur maupun dibakar, sampah plastik bakal tetep jadi polusi. Gw kasih saran untuk dibawa ke luar Baduy aja. Gw cerita kalau di daerah perumahan gw ada yg mau menerima sampah ini untuk direcycle, siapa tau di sekitar sini pun ada.

Mereka cuma senyum-senyum sungkan dan sesekali bilang “gak ada yang bawa keluar.” Gw gak yakin apa masalahnya, tapi gw bisa bayangkan gak sesederhana itu bawa sampah lalu taro di luar Baduy, belum tentu orang Ciboleger/Cijahe mau ketempatan sampah. Mesti dibuat dulu sistem yang disepakati bersama pastinya. Gw sempet ngimel badan lingkungan hidup Lebak soal ini, semoga email di web nya masih berfungsi dan sudah ada yang turun tangan. Atau mungkin ada pemirsa yang bisa bantu? Hayuh atuh lah berkoordinasi ke Baduy Dalam. Mereka terbuka kok. Dari dulu selalu welcome sama semodel baksos2an.

Efek kedua adalah perubahan lifestyle.

Yg pernah ketemu orang Baduy tau deh gimana bersihnya mereka. Gw sih belum pernah nyium bebauan yg gak enak dari tubuh mereka. Bauan gw ke mana2 deh kalo keringetan. Walau gak pake penelitian khusus, gw yakin kebersihan dan kesehatan mereka sepenuhnya didukung oleh gaya hidup mereka yang harmonis dengan alam. Contohnya, mereka gak perlu sabun, karena mereka gak ngotorin air sungainya dengan sabun, sehingga air yg murni dari mata air ini udah cukup banget buat bersihin diri mereka. Sampah-sampah yang mereka hasilin pun alami. Terus kalau pewarna, pengawet dll masuk ke tubuh mereka gimana ya? Gw lupa nanya gimana mereka jaga kebersihan mulut, udah pastinya sih gak pada pake odol. Kalau Yati, Saerah, dan anak-anak Baduy lainnya mulai makan makanan kemasan bergula, apa cara mereka membersihkan gigi dan mulut selama ini jadi cukup? Kalau mereka sakit gigi gimana? Tau kan sakit gigi itu lebih sakit daripada sakit hati? Eh gak juga ding, tergantung sakit hatinya karena diapain dulu sama mantan #lah #lospokus. Yg jelas ngilu hati lah mbayangin Saerah, Yati  dan anak-anak Baduy Dalam lain harus sakit gigi di tengah hutan gitu. Gak tau dokter gigi terdekat pun di mana. Semoga tak akan pernah terjadi ya Allah….amin. 

img_4513

Sungai di Baduy Luar….semoga selamanya sebersih ini.

Dan yang terakhir, orang Baduy jadi lebih membutuhkan uang, more than before. Gw gak berani membayangkan kemungkinan terburuk akibat efek samping ini…..

Sekarang, hal kecil yang gw pikir bisa gw lakukan adalah…bawa pulang semua sampah gw dan semua sampah lainnya di dalam Baduy Dalam dan di sepanjang jalan, yang mungkin gw bisa bawa. Kemungkinan besar orang Baduy Dalam nya sendiri akan mencegah/menolak kita membawa-bawa sampahnya, tapi harus kekeuh! Karena orang Baduy Dalam, literally tinggal di dalam hutan. Udah pasti gak akan ada truk sampah lewat sambil nyetel lagu dangdut kenceng2 #eh #itumahtruksampahdikomplekgw.

Gw dan keluarga juga berniat untuk tidak membeli apapun dari penjual makanan/minuman kemasan di sana. Karena target awal mereka memang pengunjung. Mungkin kalau demand dari pengunjung semakin kecil, mereka akan mencari model usaha lain yang bisa sama-sama menguntungkan bagi diri mereka dan lingkungan sekitarnya :). Gw dan keluarga juga janji, untuk berhenti membawakan oleh-oleh makanan kemasan, termasuk dan terutama mie instan. Mari kita bikin tradisi baru! #tsaaah

Satu kali, gw dan Isya membaca buku tentang seorang gadis Eskimo yang hidupnya jungkir balik akibat modernisasi di tanah kelahirannya. Pada akhirnya, buku itu meninggalkan pertanyaan besar buat gw dan isya, kenapa orang-orang dari ‘dunia modern’ selalu datang dengan superior ke daerah-daerah yang mereka anggap ‘tak modern’ dan merasa perlu mengubah daerah tersebut supaya semakin mirip dengan daerah mereka? Tidakkah orang2 yang makan tinggal metik, mandi tinggal ke sungai, tidur di rumah buatan tangannya sendiri adalah orang2 yang sudah sangat kaya raya?

Susah payah gw telan ganjelan di tenggorokan.

 

9 responses to “Baduy dan sampah

    • Iya bunda kay….kadang2 kita bermaksud baik, merasa mereka perlu dibantu dgn modernitas, pdhl mah hidup mereka justru sdh sgt cukup. Semoga para pembuka warung di sana bs ditertibkan, sblm anak2 Baduy dlm ‘kecanduan’ jajan mknan/minuman kemasan.

  1. Sedih ya, tapi emang perlu kerjasama banyak pihak untuk membangun kesadaran menjaga (alam, tradisi dan kebiasaan hidup) orang Baduy.

    Mungkin bisa dimulai dari kesadaran para trip organiser yang biasa membawa wisatawan ke Baduy Dalam untuk menganjurkan tidak membawa sampah dan berbelanja ke para pedagang dadakan di sepanjang jalur perjalanan ke Baduy Dalam.

    btw tulisannya bagus 🙂

    • Makasih udah mampir 🙂
      Setuju banget, kl trip organiser udah sadar, gw yakin perubahannya akan signifikan. Skrg kesadaran individu dulu deh yg kita bisa, semoga jg pelan2 membuat perubahan.

  2. Pingback: Sampah di Baduy, Tanggung Jawab Siapa? - andare!·

  3. mbak sebelumnya perkenalkan saya radian, saya juga punya keresahan yang sama tentang sampah yang tertinggal di kampung cibeo baduy dalam, dimana sampah itu menumpuk dibantaran sungai, saya khawatir kalau tidak ada penanganan yang lebih lanjut soal sampah ini lingkungan hidup keluarga kita di baduy dalam sana akan tercemar dan merusak lingkungan hidup mereka disana. Mungkin suatu waktu kita bisa bahas solusi soal ini mbak dari mulai untuk menyerukan kepada pengunjung untuk membawa sampahnya keluar lagi dari kawasan baduy dalam atau dengan suatu gerakan yg mungkin bisa menyadarkan kita semua akan pentingnya pengelolaan sampah. Karena jujur meskipun saya baru sekali berkunjung ke sana saya udah cinta banget dengan penduduk baduy dalam karena keramahaan dan ketulusan mereka menerima para tamu yang berkunjung. Di bawah ada email saya mbak mungkin suatu waktu kita bisa buat suatu aksi nyata untuk menjawab keresahan kita soal sampah di Baduy Dalam. Terima Kasih

    • Hi Radian, terimakasih banget udah sudi mampir n ninggalin pesan. Maaf baru sempat reply. Ini komennya sungguh bikin semangat membara hehehehe….yuk ah we do something about it. Temen gw titi (parah1ta.com) udah ngajakin kita bikin semacam ‘mulung Baduy’, jadi kita ngetrip sambil mungutin sampah di sana. Yuk join. Nanti di sana kita ngobrol lebih lanjut, apa aja yang bisa kita lakuin untuk jangka panjangnya. Kayak moto reduce, reuse, recycle, dari tiga point itu kita bisa bantu apa aja ke orang Baduy Dalam, sama yg pasti sih soal warung jajanan itu ya. Aduh sedih banget, mesti lapor ke mana ya kira2. Btw….emang susah utk gak jatuh cinta sama orang Baduy Dalam sih 🙂

      • Yuk mbak saya tunggu tanggal trip nya ke sana mbak, mungkin setelah kawalu kali ya mbak kita bisa ngopi di sana sekali nge bahas apa yang bisa kita lakuin soal sampah di sana, saya tinggalin alamat e-mail saya ya mbak mana tau kita bisa kabar2an soal respon apa yang bisa kita lakuin untuk masalah sampah di sana. heheh ini alamat e-mail saya ya mbak radian.g.yudhistira@gmail.com

Leave a comment